Kamis, 30 Juli 2015

Seperti Apa yang Sudah Seharusnya

Mungkin mimpi ialah bara api;
Mewujud pada setiap baris yang menjadikanmu abadi.
Sudah pukul satu pagi, dan surat ini akan berakhir sebentar lagi.
Aku ingin mengakhirinya seperti apa yang sudah seharusnya.
Untuk setiap luka yang kita toreh satu sama lain, untuk setiap beban yang aku tumpahkan padamu,
aku meminta maaf.
Aku bersyukur, kau lah orang yang pernah bersamaku.
Tidak dia.
Tidak imaji terbaikmu dalam anganku. Tidak yang lain.
Kau, utuh, nyata, apa adanya.
Kau dan aku tumbuh bersama hingga kita menjadi seperti sekarang ini.
Berdiri dengan kaki sendiri-sendiri, bahagia dengan kebahagiaan masing-masing.
Pada setiap detik yang terus berdetak,
pada ribuan hari hari yang terlanjur kita habiskan bersama.
Untuk setiap cengkrama yang tidak lagi menjadi irama.
Seandainya pertemuan kita di masa lalu tidak pernah nyata,
Aku lebih bersyukur.
Kau adalah sahabatku hingga akhir.
Kita adalah salah satu semoga yang selalu dan selalu tidak akan pernah diridhai Semesta.
Kelak saat dihari yang paling berbahagia,
aku akan menjadi salah seorang temanmu yang hadir.
Menyantap makanan yang sudah disediakan dan menanti giliran untuk mengambil gambar bersama.
Seperti apa yang sudah seharusnya. 
:)


Best Regards,
Yang ikut berbahagia.

Senin, 27 Juli 2015

Lilin Lilin Cahaya, Nona

Untuk kamu yang berada di kejauhan.
Bagaimana kabar nona? Baik?

Masih saja aku teringat.
Bagaimana pipimu merona adalah kemerahan walau tanpa gincu.
Atau senyummu yang tak pernah gagal menghancurkan relatifitas waktuku.
Atau sekedar caramu untuk pertama kalinya mengenakan tas selempang bergambar persia atau anggora. Entahlah.

Heran..
Masih saja aku tergila.
Padahal banyak wanita berparas surga di tanah jawa.
Tapi mengapa tetap kau yang terasa paling berbeda.
Persetan dengan bualan komposisi.
Karena tidak semuanya mutlak memberi arti.

Terkadang, Ingin aku..
Di jadikan kesukaanmu
Di jadikan satu satunya
Dan di jadikan tempat berpulang

Namun,
Apapun bentuk dan klausanya,
Aku selalu suka kamu.
Tak peduli mereka bicara apa
Mereka tak merasakan ini.
Ini hati yang bicara.

Persimpangan Jalan, Nona

Perempuan itu jauh di sumatera bagian paling tengah, 
dari sanak saudara paling selatan, 
dan marga paling utara.
waktu itu perempuan itu; senyumnya
mekarnya merekah
lebih merah dari pelupuk mawar
yang selalu
dan selalu paling cantik
di padang kembang
yang tak pernah letih aku lewati
wahai mata yang berkaca-kaca
nanti dulu,
biarkan aku sejenak disini
ada yang masih ingin kupandang
seperti sajak ini
yang selalu
dan selalu indah
di sela-sela huruf
sekilas ada namamu, ananda
aku ingin
pada suatu hari nanti
entah rabu atau sabtu;
pun kamis atau minggu
hari-hari yang jadi kesukaanmu
kita duduk di pojok kedai kopi
sambil menyesap tegukan pertama kopimu
kamu mengejakan seraya terbata bata
"Mungkin sekarang waktunya..."
aku rindu melihatmu.