Jumat, 17 Februari 2017

Terdoktrinisasi Pengabdian

Jadi gini beb.

Hampir beberapa tahun saya berada di dunia kedokteran. Namun selama itu sejak saya menjadi mahasiswa kedokteran. Nurani saya selalu janggal, memberontak pada sebuah konsep yang selalu saya dengar kapanpun dan dimanapun, konsep yang mungkin banyak sebagian dari kita termasuk saya awalnya ngira edgy buat mahasiswa baru dengan segala romatisasinya. Wajar, namanya juga mahasiswa, konsumen paling konsumtif produk produk idealisme. Padahal ya.... Konsep apaan tuh?

Konsep dasar tersebut bernama pengabdian. Pengabdian berasal dari kata “abdi” atau dalam bahasa Indonesia berarti budak/hamba. Sebuah konsep dasar yang menekankan dokter dan mahasiswa kedokteran sebagai abdi pemerintah yang seharusnya mau dibayar murah. Sebuah tujuan yang tinggi secara hierarki kemoralan, wajar jika konsep tersebut selalu menjadi konsep yang paling laku dan menjadi penekanan dari mulai di-ospek sampai meng-ospek, doktrinisasi tersebut sekarang telah sukses menjelma menjadi dogma yang mendoktrinisasi lebih dari 8000 mahasiswa fk setiap tahunya.

Doktrinisasi? Kedengarannya terlalu kasar dan tidak pantas, kan? Tapi apa benar? Mungkin, puluhan tahun lalu konsep pengabdian dokter adalah konsep paling brilian untuk menjamin kesehatan sekolong negeri. Sukses, menyediakan dokter untuk berbagai wilyah seantero Indonesia. Namun, anda lupa? zaman berubah.

Sekarang? Adalah suatu rahasia umum, jika UKT mahasiswa FK mencapai belasan juta atau bahkan menyentuh angka 20 jutaan padahal statusnya masih perguruan tinggi negeri. Di zaman kita, zaman dimana orang rela mati matian untuk bersaing dengan ribuan pendaftar lain di seleksi masuk kedokteran negeri hanya untuk memperebutkan kursi yang tidak banyak jumlahnya, berharap mendapat UKT murah kelak jika masuk kedokteran berstatus negeri.

 Namun kenyataanya? setelah mereka dinyatakan diterima, orang tua mereka diharuskan membayar belasan bahkan puluhan juta rupiah setiap semesternya. Ironis ya, selamat datang deh di fakultas kedokteran universitas negeri, yang beban persaingan masuknya berbanding lurus dengan mahalnya UKT yang harus dibayarkan tiap semesternya. Padahal di semua universitas yg punya kedokteran, kedokteran pasti passing grade dan peminatnya paling tinggi dari tahun ke tahun. Mau akreditasi Universitasnya A, B atau C. Gampanganya, masuknya susah, bayarnya mahal.

 Lantas, bagaimana nasib saudara kita yang memilih FK Swasta? berapa rupiah yang mahasiswa fk swasta harus keluarkan hari ini? Ratusan juta? Miliaran? Entahlah tapi mahalnya UKT FK di Indonesia baik swasta maupun negeri menjadi satu fakta yang jelas di depan mata, tapi tidak pernah tersentuh media apa apa.

Dua buah hal tersebut menjadikan kontardiktif, uang kuliah mahal dan konsep pengabdian dokter yang dikaitkan dengan "harus mau dibayar murah". Kontradiktif, yaa karena pada hakikatnya manusia cenderung untuk mendapatkan keadilan
 Hal iti sesuai dengan A Theory of Justice, karangan John Rawls. Dimana dalam bukunya John Rawls berkata manusia berhak untuk menuntut keadilan secara ekonomi. Sebuah sifat dasar manusia yang sah sah saja juga jika dilakukan oleh seorang dokter.

Namun, akibatnya lewat doktrinisasi pengabdian ketika seorang dokter meminta haknya, meminta kesejahteraannya, maka akan dlihat sebagai individu yang cenderung materialistik dibanding dengan melihatnya sebagai sebuah gagasan keadilan. Sedangkan gelombanh buruh HnM yg dibayar murah, diangkat sampe ke media media, diapresiasi sebagai pelopor keadilan. Kalo dokter yg protes?


Doktrinisasi ini terus dilakukan sampai pada akhirnya sangat wajar kalo hari ini banyak yang menentang saat ada dokter yang menuntut kesejahteraannya. Sebuah konsep yang sempurna untuk mahasiswa FK Indonesia yang dipupuk dan dibesarkan oleh sitem kapitalisme lalu setelah berbuah dieksploitasi atas nama sosialisme dan pengabdian.

Cucok banget, buat menjadikan mereka budak intelektual murah untuk memenuhi kebutuhan pasar kesehatan Indonesia.

Kenapa sih saya ngotot bilang konsep pengabdian untuk dokter itu aneh? mari kita bayangkan pengabdian sebagai suatu komoditas. Setiap komoditas memiliki suatu harga tertentu. Karena kelangkaan sumber daya, baik pendapatan dan waktu, setiap orang harus memilih bagaimana ia akan mengalokasikan sumber dayanya untuk mengkonsumsi berbagai komoditas yang tersedia. Dalam konteks ini, konsumsi terhadap komoditas pengabdian akan bersaing dengan komoditas lainnya, seperti makanan, rumah, liburan, hiburan, mainan, menikah, tabungan kuliah spesialis, simposium dan jangan lupa, uang kuliah dahulu yang nominalnya fantastis.

Tidak ada harga komoditas yang senantiasa tetap. Ia akan berubah mengikuti situasi dan kondisi, khususnya kondisi pasar dan kebijakan pemerintah. Hal ini pun berlaku bagi pengabdian. Sebagai ilustrasi, ketika seorang dokter di Indonesia masih muda, hidup sendirian tanpa tanggungan, atau bahkan masih hidup bersama dan disokong oleh orang tuanya, konsep pengabdian mungkin masih akan terkesan menarik. Gajinya memang tidak banyak, tetapi karena hidupnya disubsidi dan biaya kesempatannya (opportunity costs) belum terlalu tinggi (pekerjaan lain misalnya tidak menawarkan gaji yang berbeda terlau jauh), si dokter masih akan memilih pengabdian dan memuaskan dirinya dengan perasaan senang karena bisa mengabdi.

Namun suatu hari nanti ia mungkin akan berkeluarga, ada keinginan untuk melanjutkan ke PPDS yang juga tidak murah, sokongan orang tua berakhir dan jangan lupa keinginan untuk mengembailkan biaya yang dikeluarkan orang tua saat berkuliah di kedokteran ( yang nominalnya sangat besar), lalu akan ada pekerjaan lain yang menawarkan penghasilan yang jauh lebih tinggi (Misalnya jadi selebgram). Semakin lama, biaya aktual dan biaya kesempatan untuk mengkonsumsi pengabdian akan bertambah semakin besar, dan harganya pun menjadi semakin mahal. Beberapa orang bisa jadi tetap memilih untuk mengkonsumsi pengabdian dalam jumlah yang tetap. Namun karena pendapatannya tidak bertambah cukup banyak untuk menyokong konsumsi produk lainnya, ia harus mensubstitusikan produk lainnya dengan pengabdian, yang berarti konsumsi atas produk lain akan menurun.

Alternatif lainnya, ia justru memilih untuk mengurangi konsumsi terhadap pengabdian, dan untuk itu, ia akan mengambil alternatif, meminta kenaikan upah (dari pasien) atau mencari pekerjaan yang memberikan pendapatan yang lebih baik sehingga ia bisa mengkonsumsi produk lainnya lebih banyak.

Pertanyaannya, secara statistik, mana yang lebih banyak di Indonesia, manusia yang memilih opsi pertama (pertahankan konsumsi pengabdian) atau opsi kedua (kurangi konsumsi pengabdian)? Ini pertanyaan paling penting yang harus dijawab oleh semua orang yang sibuk mendukung konsep dokter sebagai pengabdian, karena implikasinya luar biasa.



Sebagai penutup, kemarin saya sempat membaca berita seorang dokter yang mengabdi ke pedalaman dengan gaji pas pasan. Sampai wafat, ia masih aktif mengobati. Orang memuji-muji si dokter karena sudah mengabdi demikian dahsyat dan menyatakan agar si dokter dijadikan contoh. Saya heran bukan kepalang. dokter itu sungguh kesusahan, dan yang ia dapatkan cuma tepuk tangan? Luar biasa jeniusnya bangsa ini. Saya sungguh berharap agar jangan sampai tindakan-tindakan yang mengalienasi politisi dari membiayai kesehatan(supaya menjadi lebih murah bagi orang yang membutuhkan) tersebut dilakukan sekedar untuk memuaskan perasaan superior secara moral karena merasa sudah bersih dari nilai-nilai duniawi. Karena kalau benar, harganya mahal sekali demi memuaskan preferensi moral tersebut.

Minggu, 11 Desember 2016

SUDUT LAIN MEJA KOPI JESSICA


Sidang kopi sianida Jessica, untuk sebagian orang sidang Jessica mungkin adalah sebuah serial TV genre terbaru yang lebih menarik ketimbang sinetron ganteng ganteng sariawan yang ceritanya gitu gitu aja atau naga indosiar yang sekarang kayaknya udah punah. Apalagi ketika youtube yang dulunya menjadi alternatif hiburan berkualitas untuk masyarakat sekarang sudah terserang konten konten yang tidak lebih bermoral dari serial televisi, lihat saja salah dua pelaku youtube seperti Karin Novilda atau Reza Oktovian yang tidak sungkan memakai bahasa bahasa kasar dalam vlognya. 
Sidang ini memang fenomenal, menyita perhatian masyarakat dari seluruh kalangan di semua penjuru Indonesia atau bahkan, dunia. Ada baiknya kalo dipikir lagi mungkin kita harus berbangga hati karena serial tv persidangan Jessica mungkin sudah menyaingi serial tv beken Game of Thrones dari British atau DOTS dari Korea. Malah saya menyarankan anda menyisihkan uang jajan anda. Karena boleh jadi beberapa waktu lagi kopi sianida ini coming soon di bioskop kesayangan anda.dan tidak ada salahnya setelah itu anda merapat ke kedai kopi Olivier yang mungkin sudah buka cabang di setiap kota besar di Indonesia berbarengan dengan kesuksesan film kopi sianida. Sekali lagi sadar atau tidak.
Ah sudah lah, sidang kopi Jessica memang pelik dan pait seperti Vietnamese Iced Coffee yang dipesannya. Btw, saya bukan mahasiswa jurusan hukum yang paham hukum apalagi mahasiswa ilmu astrologi yang spesialisasinya membuat ramalan bintang, jadi sebaiknya jangan harap saya akan mengupas atau menebak nebak kelanjutan dan bagaimana nasib sidang Jessica. Berhubung kebetulan saya seorang mahasiswa kedokteran, membahas dari sisi keprofesian seorang dokter akan lebih cocok dengan keilmuan saya dibanding menebak nebak kelanjutan kasusnya, ya kan?
Sejak awal persidangan Jessica dimulai sampai sidang terakhir ini banyak sekali dokter yang hadir untuk menjadi saksi ahli. Namun, apakah dibenarkan sebuah profesi boleh memiliki sebuah kesimpulan yang berbeda-beda? Apakah itu lazim di dunia kedokteran? Apakah lazim dalam persidangan yang notabenenya menyangkut hidup mati seseorang? Akankah sebuah kesaksian Scientific dari mulut seorang dokter bisa dibeli oleh suap para pengaca atau jaksa? akankah era BPJS yang kacau balau atau UKT mahasiswa kedokteran masih tinggi membuat profesi dokter mudah di komersialisasi?
Berawal dari ketertarikan saya melihat seorang guru besar patologi forensik menjadi saksi yaitu Prof. Gatot S. Lawrence, Sp.PA seorang guru besar FK UNHAS pada persidangan yang lalu memberi pernyataan menarik dan refklektif. Beliau berkata bahwa seharusnya tidak sampai terjadi beda pendapat tajam antara ahli ( dokter spesialis forensic, toksikologi dan patologi anatomi ) yang satu dengan yang lain dalam pengungkapan kasus kematian Almarhumah Mirna. Pernyataan reflektif itu seharusnya ditangkap jelas oleh seluruh ahli yang sudah dan yang akan didengar di persidangan selanjutnya. Termasuk, tidak pantasnya ahli-ahli tersebut berdebat atau beropini selebihnya di media massa setelah selesai memberi keterangan karena masyarakat tidak semuanya memiliki kemampuan menyaring pendapat ahli-ahli tersebut secara baik. Mungkin perlu diingat kembali sesuai Pasal 1 angka 28 KUHAP bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Banyak perbedaan pendapat ahli dalam kasus ini, nampaknya membuat public bertanya tanya tentang keahlian seorang dokter yang bisa berbeda pendapat.
Lalu, apakah “warna warni” yang sebenarnya terjadi dari ahli-ahli yang memiliki keahlian khusus di kasus ini ?
Dalam kasus Almarhumah Mirna, di persidangan sudah menyatakan bahwa ditemukannya siandia sejumlah 7400 mg/l digelas Almarhumah Mirna adalah sebuah bukti objektif. Semua ahli sepakat kopi tersebut mengandung sianida ketika diperiksa pihak kepolisian dan menjadi barang bukti yang valid. Namun masih adanya kemungkinan yang belum bisa terbukti seperti kapan sianida dituangkan menjadi perdebatan lainnya. Dan apakah sianida dituangkan sebelum Almarhumah Mirna menenggak kopi atau sesudah Almarhumah Mirna menenngak kopi iced Vietnam miliknya?
Jika siandia benar digelas Almarhumah Mirna dituangkan sebeblum Almarhumah Mirna meminum kopi tersebut harusnya didapkan buktinya dalam tubuh Almarhumah Mirna. Hasil temuan inilah yang memicu perdebatan dan warna warni ahli dalam menentukan penyebab kematian Jessica, ada ahli yang berkata ini karena sianida ada juga yang berkata dengan sangat yakin ini bukan karena sianida. Semua keputusan saksi ahli tentunya sangat mempengaruhi hal yang terpenting yaitu kenapa sebab mirana meninggal sekaligus apa putusan hakim pada saudari Jessica.
Di awal persidangan beberapa dokter menyatakan keyakinannya almarhum mira tewas karena sianida ahli yaitu Prof. dr. Budi Sampurna, SH, DFM, SpF(K), SpKP. Guru Besar FKUI . Beliau menyatakan, tidak bisa menggelar otopsi menyeluruh karena tidak diperkenankan keluarga Almarhumah Mirna. Sehingga yang bisa dilakukan tim dokter forensik saat itu hanya memeriksa beberapa organ tubuh Almarhumah Mirna, yaitu lambung, hati, liver, empedu, dan urine. Di dalam lambung Almarhumah Mirna ditemukan korosi atau luka akibat zat asam dari sianida. Dalam lambung juga ditemukan 0,2 miligram sianida yang masih tersisa. Prof. Budi juga menemukan adanya pembengkakan dalam bibir Almarhumah Mirna. Ini diakibatkan adanya luka karena sianida. Racun itu masuk ke dalam lambung kemudian diserap oleh darah dan mengikat oksigen. Akibatnya otak kekurangan oksigen dan menyebabkan kejang-kejang. Kekurangan oksigen juga membuat jantungnya berhenti sehingga berdampak pada kematian.
Ahli Toksikologi Forensik dari Universitas Udayana Bali, I Made Gelgel memperkuat keterangan Budi. Gelgel meyakini lambung Almarhumah Mirna mengalami korosi karena racun sianida. “Sianida masuk ke dalam tubuh dan sangat cepat membuat dinding lambung rusak menyeluruh,” kata Gelgel, saat memberi kesaksian pada 25 Agustus 2016. Beliau berkata sesuai dengan keahliannya namun sayangnya pernyataan kedua ahli tersebut tanpa didasari Evidence Based Medicine yang berisi jurnal jurnal terbaru yang validitasnya bisa dipertanggungjawabkan.
Beberapa hari kemudian persidngan Jessica menghadirkan saksi ahli dari kubu Jessica yaitu engacara mendatangkan Beng Beng Ong dari Fakultas Kedokteran Queensland University dan Ahli toksikologi forensik dr. Djaja Surya Atmadja, DFM., S.H., SpF., Ph.D dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dua saksi ahli ini meragukan Almarhumah Mirna tewas akibat sianida. Dalam keterangannya, Ong mengatakan, jika Almarhumah Mirna tewas akibat siandia, seharusnya dalam lambungnya ditemukan bekas sianida yang tersisa. Namun hasil tes toksikologi 70 menit setelah Almarhumah Mirnah tewas, tak ada kandungan siandia dalam cairan lambung. Sianida juga tak ditemukan dalam empedu dan hati serta air seni. Pendapat senada disampaikan Djaja Surya. Selain itu, Djaja berpendapat, orang yang keracunan sianida juga memperlihatkan ciri-ciri khusus. Diantaranya adalah kulit berwarna kemerahan, bibir tidak berwarna biru, bau bitter almond, lambung berwarna merah dan membengkak. Keterangan dua ahli yang dibawa pengacara itu sebagai tanggapan atas keterangan saksi ahli yang didatangkan jaksa penuntut umum. Saksi ahli yang didatangkan jaksa meyakini Almarhumah Mirna tewas akibat sianida.
Ditambah kesaksian ahli Prof. Gatot S. Lawrence, Sp.PA sidang selanjutnya memperkuat Almarhumah Mirna meninggal bukan karena sianida karena pernyataan beliau soal sianida 0.2mg yang ditemuka didalam lambung manusia yang telah meninggal adalah sebuah reaksi post mortem yang fisiologis didasarkan pada sebuah Evidence Based Medicine berupa jurnal terindex scopus. Dengan gaya yang meldak ledak beliau mengaskan semua ilmunya dapat dipertanggung jawabkan dari jurnal jurnal yang terindex scopus.
Merujuk pada hal tersebut harusnya pernyataan beliau menyudahkan perdebatan perihal temuan sianida dalam tubuh Almarhumah Mirna karena pendapat dr Lawrence sejauh ini adalah pendapat yang paling kuat dan dapat dipertanggungjawabkan pernyataannya karena merujuk pada literasi yang baik.
Lalu pertanyaannya adalah, akankah akan mengubah penyebab meninggalnya Almarhumah Mirna?
Lalu apa yang membuat perbedaan pendapat dikalangan ahli? Semua ahli sepakat bahwa autopsy adalah cara terbaik mengetahui asal usul sebab terjadinya kematian. Namun semuanya berpulang pada keputusan keluarga korban. Dimana dalam kasus ini, keluarga korban hanya mengijinkan pengambilan sampel cairan dan organ gaster korban untuk autopsi. Tidak dilakukannya autopsy seluruh tubuh menjadi sisi ketidaksempurnaan dari scientific investigation yang sedang dilakukan oleh penyidik dalam kasus Almarhumah Mirna sehingga menimbulkan multi tafsir dr para ahli. Jika sample cairan lambung Almarhumah Mirna tidak sah secara hukum untuk dijadikan alat bukti, akankah Jessica menjadi terpidana?
Saya kira jawabannya hanya Allah dan hakim yang tau. Yang jelas hikmah untuk dunia kedokteran dari kejadian ini adalah sejalan dengan praktek scientific investigation yang menghangat dan proses persidangan yang marathon serta terekspose luas memberi babak baru pada kemajuan proses scientific investigation guna antisipasi kejahatan modern dipersidangan.
Sebagai penutup ijinkan saya mengutip amanat pasal 179 ayat 1 KUHAP : “Orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”. Semoga integritas adalah harga mati dan kelimuan tidak bisa digadaikan oleh materialitas karena tentunya keadilan jelas memberi akibat kepada Terdakwa maupun Korban.
Muhammad Fakhri
Kementerian Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Kamis, 30 Juli 2015

Seperti Apa yang Sudah Seharusnya

Mungkin mimpi ialah bara api;
Mewujud pada setiap baris yang menjadikanmu abadi.
Sudah pukul satu pagi, dan surat ini akan berakhir sebentar lagi.
Aku ingin mengakhirinya seperti apa yang sudah seharusnya.
Untuk setiap luka yang kita toreh satu sama lain, untuk setiap beban yang aku tumpahkan padamu,
aku meminta maaf.
Aku bersyukur, kau lah orang yang pernah bersamaku.
Tidak dia.
Tidak imaji terbaikmu dalam anganku. Tidak yang lain.
Kau, utuh, nyata, apa adanya.
Kau dan aku tumbuh bersama hingga kita menjadi seperti sekarang ini.
Berdiri dengan kaki sendiri-sendiri, bahagia dengan kebahagiaan masing-masing.
Pada setiap detik yang terus berdetak,
pada ribuan hari hari yang terlanjur kita habiskan bersama.
Untuk setiap cengkrama yang tidak lagi menjadi irama.
Seandainya pertemuan kita di masa lalu tidak pernah nyata,
Aku lebih bersyukur.
Kau adalah sahabatku hingga akhir.
Kita adalah salah satu semoga yang selalu dan selalu tidak akan pernah diridhai Semesta.
Kelak saat dihari yang paling berbahagia,
aku akan menjadi salah seorang temanmu yang hadir.
Menyantap makanan yang sudah disediakan dan menanti giliran untuk mengambil gambar bersama.
Seperti apa yang sudah seharusnya. 
:)


Best Regards,
Yang ikut berbahagia.

Senin, 27 Juli 2015

Lilin Lilin Cahaya, Nona

Untuk kamu yang berada di kejauhan.
Bagaimana kabar nona? Baik?

Masih saja aku teringat.
Bagaimana pipimu merona adalah kemerahan walau tanpa gincu.
Atau senyummu yang tak pernah gagal menghancurkan relatifitas waktuku.
Atau sekedar caramu untuk pertama kalinya mengenakan tas selempang bergambar persia atau anggora. Entahlah.

Heran..
Masih saja aku tergila.
Padahal banyak wanita berparas surga di tanah jawa.
Tapi mengapa tetap kau yang terasa paling berbeda.
Persetan dengan bualan komposisi.
Karena tidak semuanya mutlak memberi arti.

Terkadang, Ingin aku..
Di jadikan kesukaanmu
Di jadikan satu satunya
Dan di jadikan tempat berpulang

Namun,
Apapun bentuk dan klausanya,
Aku selalu suka kamu.
Tak peduli mereka bicara apa
Mereka tak merasakan ini.
Ini hati yang bicara.

Persimpangan Jalan, Nona

Perempuan itu jauh di sumatera bagian paling tengah, 
dari sanak saudara paling selatan, 
dan marga paling utara.
waktu itu perempuan itu; senyumnya
mekarnya merekah
lebih merah dari pelupuk mawar
yang selalu
dan selalu paling cantik
di padang kembang
yang tak pernah letih aku lewati
wahai mata yang berkaca-kaca
nanti dulu,
biarkan aku sejenak disini
ada yang masih ingin kupandang
seperti sajak ini
yang selalu
dan selalu indah
di sela-sela huruf
sekilas ada namamu, ananda
aku ingin
pada suatu hari nanti
entah rabu atau sabtu;
pun kamis atau minggu
hari-hari yang jadi kesukaanmu
kita duduk di pojok kedai kopi
sambil menyesap tegukan pertama kopimu
kamu mengejakan seraya terbata bata
"Mungkin sekarang waktunya..."
aku rindu melihatmu.

Jumat, 12 Desember 2014